Artikel Utama



PERBANDINGAN AGAMA
Ceramah Jalsah Salanah Wilayah Jawa Timur 2012
Oleh: Mln. Muharim Awaludin
            Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang  yang beriman dan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani dan orang-orang Shabi-in, barang siapa di antara mereka beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta mengerjakan amal-amal shalih, maka untuk mereka ada ganjaran pada sisi Tuhan mereka, dan tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan berduka cita.” (QS 2:63). Juga dalam QS 5:70.
            Sebelum menguraikan judul yang diberikan kepada saya, perlu kita ingat kembali bahwa Jalsah ini dasarnya telah diletakkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (a.s.) sendiri dan tidak sama dengan pertemuan-pertemuan duniawi. Oleh sebab itu sudah seharusnya kita memanfaatkan waktu-waktu selama berlangsungnya Jalsah ini dengan banyak melakukan Dzikir Ilahi. Salah satu tujuan dari Jalsah adalah agar kecintaan kepada Allah Ta’ala meningkat dan kecintaan kepada dunia menjadi hilang atau setidaknya berkurang. Dalam Jalsah ini kita dapat memperbaharui keimanan dan keyakinan kita, ibaratnya seperti kita men-cas kembali baterai yang mulai melemah tenaganya.
            Khusus mengenai ceramah-ceramah yang disampaikan oleh para pembicara hendaknya disimak dengan penuh perhatian siapapun yang menjadi nara sumbernya. Setiap orang mempunyai cara masing-masing untuk menyampaikan ceramahnya. Begitu pula setiap orang yang mendengar juga punya selera masing-masing dalam mendengarkan ceramah yang disampaikan. Ada orang yang suka mendengar kalau ceramah itu disampaikan dengan gaya orator. Ada lagi yang suka mendengar kalau disampaikan dengan gaya yang kalem. Namun demikian yang penting bukanlah cara dan gaya penyampaiannya melainkan isi yang disampaikan dalam ceramah itu, sedangkan ceramah-ceramah yang disampaikan dalam Jalsah isinya sangat bermanfaat untuk kemajuan keruhanian kita. Oleh sebab itu hendaknya kita semua menyimak dengan sebaik-baiknya ceramah-ceramah yang disampaikan oleh para pembicara, walaupun mungkin saja gaya dan cara penyampaian sebagian pembicara tidak memenuhi selera para pendengarnya. Semoga Jalsah ini membawa berkat-berkat bagi kita sekalian. Amin.

Tiada Monopoli Kebenaran
            Ayat-ayat tersebut membuktikan bahwa tidak ada monopoli kebenaran. Semua orang dari agama apapun berhak memperoleh keselamatan. Sebab semua agama yang sekarang ini masih berdiri di dunia pada awalnya adalah dibawa oleh para utusan Tuhan untuk zaman dan kaum tertentu. Sehingga tidak ada yang berhak mendakwakan diri bahwa mereka sajalah yang akan memperoleh keselamatan. Hadhrat Masih Mau’ud(A.S.) berdasarkan ayat Al-Qur-an yang menerangkan perumpamaan antara kebenaran dan kebatilan sebagai antara air dan buih, di mana buih itu akan lenyap sedangkan air itu akan tinggal lama di bumi; maka beliau memberikan batasan-batasan bahwa apabila ada ajaran agama yang bertahan lama dan diikuti serta diamalkan oleh ratusan ribu dan jutaan orang, tentu agama itu adalah dari Tuhan. Berdasarkan hal itu beliau menulis bahwa para pembawa agama sebelum Islam seperti Krishna, Buddha, Konghuchu, Zoroaster dan lain-lain adalah nabi-nabi yang diutus Tuhan untuk kaum masing-masing pada zamannya.

Agama Bukan Hasil Rekayasa Manusia
            Sebelum berlanjut pada bahasan mengenai perlunya agama baru yang murni dan sempurna, perlu disampaikan di sini bahwa agama-agama itu bukan merupakan hasil rekayasa manusia. Agama-agama yang berdiri mapan di dunia ini menunjukkan beberapa ciri yang membedakan:
            Pertama, menurut ukuran biasa para pendiri agama-agama adalah orang-orang yang serba lemah keadaannya. Mereka tak punya kekuasaan atau wibawa maupun pengaruh. Namun demikian, mereka mengalamatkan perkataan mereka baik kepada orang-orang besar maupun kepada orang-orang kecil dan pada waktu yang tepat mereka dan para pengikut mereka naik dari kedudukan yang rendah kepada yang tinggi di dunia. Ini menunjukkan bahwa  mereka ditunjang dan dibantu oleh suatu Kekuasaan Yang Besar.
            Kedua, semua pendiri agama-agama adalah pribadi-pribadi yang sangat dihormati dan dimuliakan karena kebersihan dan kesucian hidup mereka, bahkan dimuliakan oleh orang-orang yang kemudian – setelah mereka mengumandangkan pendakwaan mereka – menjadi lawan mereka. Tidaklah masuk akal bahwa orang-orang yang tidak pernah berdusta tentang manusia, tiba-tiba mulai berdusta tentang Tuhan. Pengakuan umum tentang kebersihan dan kesucian hidup mereka sebelum pengumuman pendakwaan mereka adalah bukti kebenaran pendakwaan-pendakwaan mereka itu. Al-Qur-an menekankan hal ini: “Maka sesungguhnya aku telah tinggal bersama kalian sepanjang umur sebelum ini. Tidakkah kalian mempergunakan akal?” (QS 10 :17)
            Ayat tersebut menampilkan seakan-akan Nabi Muhammad (s.a.w.) berkata kepada kaum beliau, “Aku lama tinggal bersama kalian sebagai seorang di antara kalian. Kalian mempunyai kesempatan untuk memperhatikan aku dari dekat sekali; kalian sudah menyaksikan ketulusan hatiku. Sebab itu, mengapa kalian berani mengatakan bahwa aku hari ini tiba-tiba mulai berdusta tentang Tuhan?”
            Demikian pula Al-Qur-an berkata: “Sesungguhnya, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang mukmin ketika mengutus kepada mereka seorang rasul dari antara mereka.” (QS 3:165). Hal ini juga ditegaskan dalam ayat: “Hai, orang-orang yang beriman, sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari antaramu sendiri.” (QS 9:128)
            Yakni, “seorang rasul untuk kalian, yang adalah salah seorang dari antara kalian, bukan orang yang tak kalian kenal, melainkan seorang yang kalian kenal baik dan yang tentang kebersihan dan kesucian wataknya kalian telah saksikan sendiri.”
            Bahkan tentang nabi-nabi lain selain Nabi Muhammad (s.a.w.), Al-Qur-an memberikan pernyataan demikian. Mereka dibangkitkan dari antara kaum mereka sendiri. Tak dapat dikatakan tentang nabi-nabi itu bahwa orang-orang yang mula-mula mereka panggil untuk mengikuti ajaran mereka, tidak cukup mengenal mereka. Ketika penghuni-penghuni neraka dilontarkan ke dalam neraka, Tuhan akan menyesali mereka dengan kata-kata: “Bukankah telah datang kepada kalian rasul-rasul dari antara kalian sendiri membacakan kepada kalian Tanda-tanda dari Tuhanmu dan memberikan peringatan kepadamu tentang pertemuan pada harimu ini?” (QS 39:72). Dan juga: “Hai golongan jin dan manusia, tidakkah telah datang kepadamu Tanda-tanda-Ku dan memperingatkan kalian mengenai pertemuan pada harimu ini?” (QS 6:131).
            Di tempat lain kita baca: “Dan Kami kirimkan ke tengah-tengah mereka seorang rasul dari antara mereka sendiri, dengan amanat, Sembahlah Allah. Tiada bagimu Tuhan selain Dia.” (QS 23:23). Lagi: “Dan ingatlah, hari itu akan kami bangkitkan dari setiap umat seorang saksi.” (QS 16:85).
            Kata “saksi” yang dipakai di sini berarti seorang nabi yang dibangkitkan untuk suatu kaum. Pada hari peradilan, nabi-nabi itu akan menunjuk diri mereka sendiri sebagai bukti yang nyata tentang apa-apa yang mereka capai oleh sebab menerima wahyu dari Allah Ta’ala. Tuhan akan memberi malu kepada orang-orang yang tak percaya dengan berkata, “Lihatlah apa yang telah dicapai oleh Nabi-KU dan ke mana keingkaranmu telah membawa kamu?” Kepada kita dikatakan bahwa semua nabi dibangkitkan dari antara kaum mereka sendiri. Keadaan-keadaan tempat seseorang nabi dibangkitkan dan reaksi setiap nabi terhadap keadaan-keadaan itu diketahui benar oleh setiap orang dari bangsa itu. Maka itu, setiap bangsa itu menjadi saksi atas kesolehan dan kesucian nabinya. Di samping itu kita dapati juga dalam Al-Qur-an ayat-ayat seperti ini: “Dan, kepada ‘Ad, Kami utus saudara mereka, Hud.” (QS 7:66). “Dan, kepada Tsamud, Kami utus saudara mereka, Shalih.” (QS 7 :74). “Dan Kami utus pula kepada Madyan saudara mereka, Syu’aib.” (QS 7:86).
            Ayat-ayat ini berarti bahwa Hud, Shalih dan Syu’aib (a.m.s.) berhubungan rapat sekali dengan bangsa mereka masing-masing, sehingga bangsa-bangsa itu dapat dikatakan mengetahui segala-galanya tentang mereka itu. Tentang Shalih (a.s.) kita baca bahwa ketika beliau mengumumkan diri sebagai nabi untuk bangsanya, kepada beliau dikatakan: “Hai Shalih, sesungguhnya engkau adalah seorang di antara kami sebelum ini tempat kami menaruh harapan. Apakah engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh leluhur kami?” (QS 11:63).
            Begitu pula kaum Syu’aib berkata kepada Syu’aib (a.s.): “Hai Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh engkau supaya kami meninggalkan apa yang disembah oleh leluhur kami ataupun melarang kami berbuat apa yang kami sukai berkenaan dengan harta kami? Engkau sesungguhnya menganggap dirimu seorang yang sangat cerdas dan berpikir lurus.” (QS 11:88).
            Dari kalimat-kalimat ini jelaslah bahwa, menurut Al-Qur-an, Nabi Muhammad (s.a.w.) sendiri dan Hud, Shalih, Syu’aib serta nabi-nabi lainnya bukanlah orang-orang asing yang sedikit sekali diketahui oleh kaum mereka masing-masing. Kaum mereka mengetahui benar akan macam apa kehidupan yang dijalani oleh guru-guru mereka dan tahu benar bahwa mereka adalah orang-orang yang tulus, bertakwa dan soleh. Seorang pun dari mereka tak dapat dikatakan pahlawan kesiangan yang tak dikenal dan mempunyai maksud-maksud tertentu terhadap kaumnya sendiri.
            Ketiga, pendiri-pendiri agama tidaklah memiliki daya dan kemampuan-kemampuan yang biasanya diperlukan untuk menjadi pemimpin yang berhasil. Mereka sedikit atau sama sekali tidak mengetahui kesenian-kesenian atau kebudayaan di masa mereka. Namun, apa yang diajarkan mereka ternyata merupakan sesuatu yang lebih maju dari masa mereka, sesuatu yang tepat dan sesuai dengan waktunya. Dengan menjalankan ajaran itu suatu kaum mencapai suatu peringkat tinggi dalam peradaban dan kebudayaan, dan berabad-abad lamanya terus memegang kejayaannya. Seorang Guru Jagad yang sejati membuat hal itu mungkin. Sebaliknya, tak dapat dimengerti bahwa seorang yang lugu dengan kesanggupan-kesanggupan yang biasa-biasa saja, segera setelah ia mulai berdusta tentang Tuhan, memperoleh kekuasaan yang demikian hebatnya sehingga ajarannya mengungguli ajaran lainnya yang terdapat pada masanya. Kemajuan semacam itu tak mungkin dicapai tanpa bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa.
            Keempat, kalau kita perhatikan apa yang diajarkan pendiri-pendiri agama itu, maka akan kita ketahui bahwa ajaran itu selalu bertolak belakang dengan segala aliran yang ada. Kalau ajaran itu sejalan dengan kecenderungan-kecenderungan masa mereka, dapatlah dikatakan bahwa guru-guru itu hanya menjabarkan kecenderungan-kecenderungan itu. Sebaliknya, yang diajarkan mereka ajarkan sangat berbeda dengan apa yang didapati mereka pada masa itu. Suatu perselisihan dahsyat terjadilah dan tampak seakan-akan di negeri itu berkobar kebakaran. Walaupun demikian, mereka mula-mulanya membantah dan menentang ajaran itu, pada akhirnya terpaksa menyerah kepadanya. Ini juga merupakan suatu bukti bahwa guru-guru itu bukanlah hasil penjelmaan masanya, melainkan mereka itu adalah guru-guru, pembaharu-pembaharu dan nabi-nabi yang sesuai dengan arti dan maksud dakwah mereka.
            Kelima, pendiri-pendiri agama semuanya memperlihatkan tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat. Setiap dari mereka menyatakan dari awal mula bahwa ajarannya akan mendapat kemenangan dan bahwa orang-orang yang berusaha menghancurkannya akan hancur sendiri. Mereka tak punya sarana-sarana dan perlengkapannya kurang. Ajaran-ajaran mereka bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan dan cara-cara berpikir yang sudah mendarah daging, dan ajaran-ajaran itu menimbulkan perlawanan keras dari kaum mereka sendiri. Namun, mereka berhasil dan yang mereka katakan sebelumnya menjadi sempurna. Mengapa nubuwatan-nubuwatan (khabar ghaib) dan janji-janji mereka menjadi sempurna? Memang, ada orang-orang lain, jendral-jendral dan diktator-diktator, yang juga mendapat kemenangan yang lahirnya kelihatan seperti itu. Tapi, yang menjadi soal bukanlah kemenangan. Soalnya ialah kemenangan yang dinubuwatkan terlebih dahulu, yang dari semula dikaitkan kepada Tuhan, kemenangan yang padanya dipertaruhkan segenap reputasi akhlak nabi dan yang dicapai dengan menghadapi perlawanan yang paling dahsyat. Napoleon, Hitler dan Jengiz Khan naik ke jenjang tinggi dari kedudukan rendah. Tapi, mereka tidak menentang suatu arus pikiran yang ada di masa mereka. Tidak pula mereka mengumumkan bahwa Allah telah menjanjikan kemenangan bagi mereka sekalipun menghadapi perlawanan. Tidak pula mereka harus menghadapi suatu perlawanan yang begitu mulus. Tujuan-tujuan yang mereka cita-citakan dijunjung tinggi oleh kebanyakan orang sezaman mereka yang barangkali menyarankan untuk menempuh cara-cara lain tapi bukan tujuan yang berbeda.
            Kalau mereka menderita kekalahan, mereka tak kehilangan apa-apa. Mereka masih tetap tinggi dalam pandangan kaum mereka, mereka tak mempunyai kekhawatiran apa-apa. Tapi, lain halnya dengan Musa, Isa, Krishna, Zoroaster dan Nabi Pembawa Islam (a.m.s.). Sungguh mereka tidak gagal, tapi sekiranya mereka gagal, mereka akan kehilangan segala-galanya. Mereka tidak akan dinyatakan sebagai pahlawan, melainkan akan dihukum sebagai pendakwah palsu dan penipu. Sejarah akan memberikan perhatian sedikit sekali kepada mereka dan nama buruk yang kekal akan menjadi ganjaran mereka. Karena itu di antara mereka dan orang-orang seperti Napoleon atau Hitler terdapat perbedaan laksana siang dan malam – perbedaan yang sama seperti terdapat pada kemenangan-kemenangan mereka masing-masing. Tak banyak orang yang menghargai atau memuliakan Napoleon, Hitler atau Jengiz Khan. Sebagian memandang mereka sebagai pahlawan dan sangat mengagumi perbuatan-perbuatan mereka. Tapi, dapatkah mereka menuntut dari orang lain kesetiaan dan kepatuhan sejati? Kesetiaan dan kepatuhan hanya diberikan kepada Guru-Guru Jagat, seperti Musa, Krishna, Zoroaster (a.m.s.) dan Nabi Muhammad (s.a.w.). Jutaan manusia sepanjang abad melakukan apa yang disuruh oleh guru-guru itu. Berjuta-juta orang menjauhkan diri mereka dari hal-hal yang dilarang oleh guru-guru itu. Pikiran, kata dan perbuatan mereka yang sekecil-kecilnya dibaktikan kepada apa yang diajarkan kepada mereka oleh anutan-anutan mereka. Adakah pahlawan-pahlawan kebangsaan memperoleh secercah saja kesetiaan dan kepatuhan yang diberikan kepada guru-guru itu? Karena itu, Guru-Guru Jagat itu adalah dari Tuhan dan apa yang diajarkan mereka itu diajarkan oleh Tuhan.
            Demikianlah beberapa ciri-ciri yang membedakan antara nabi-nabi yang diutus Tuhan dengan penguasa-penguasa dunia.

Mengapa Ajaran-Ajaran Berbagai Agama Berbeda
            Kalau semua guru itu berasal dari Tuhan, mengapa ajaran-ajaran mereka begitu jauh berbeda antara satu sama lain? Adakah Tuhan mengajarkan berbagai-bagai hal pada waktu yang berlainan? Orang-orang awam saja pun akan mencoba bersikap taat asas dan akan mengajarkan hal-hal yang sama pada berbagai waktu. Jawaban untuk pertanyaan ini adalah, bila keadaan-keadaan tetap sama, maka akan janggal sekali memberikan petunjuk-petunjuk yang berlainan. Tapi, kalau keadaan berubah, maka perbedaan ajaran itu terletak pada intisari hikmahnya.
            Pada masa Nabi Adam (a.s.), rupa-rupanya manusia hidup bersama-sama di suatu bagian dunia; karena itu satu ajaran cukup bagi mereka. Bahkan mungkin sampai ke masa Nabi Nuh (a.s.) mereka hidup dengan cara itu. Sejarah menyokong pandangan bahwa penduduk dunia itu merupakan satu masyarakat sampai masa Nabi Nuh (a.s.). Sesudah itu penduduk tersebar ke berbagai negeri. Pengaruh ajaran Nuh (a.s.) mulai berkurang, karena sarana perhubungan sangat buruk. Seorang guru di suatu negeri tak mungkin menyampaikan ajarannya ke negeri-negeri lain. Di waktu itu layaklah kalau Tuhan mengirimkan seorang nabi ke setiap negeri sehingga tak ada suatu negeri pun yang tak memperoleh hidayah-Nya. Ini menyebabkan perbedaan antara agama-agama, karena pikiran manusia belum sepenuhnya berkembang. Karena kecerdasan dan pengertian manusia belum sampai kepada perkembangan yang harus dicapainya kelak, kepada setiap negeri diturunkan ajaran yang selaras dengan tingkat kemajuan yang telah dicapainya.
            Tapi, ketika umat manusia mulai maju, dan lebih banyak negeri mulai makin banyak dihuni, dan jarak di antara negeri-negeri mulai diciutkan dan sarana perhubungan mulai bertambah baik, pikiran manusia mulai merasakan keperluan adanya suatu ajaran yang universal dan melingkupi semua macam keadaan manusia. Berkat hubungan timbal-balik, manusia dapat mendalami kesatuan asasi umat manusia dan Keesaan Khalik dan Rabb mereka. Ketika itu di gurun sahara tanah Arabia, Tuhan menurunkan ajaran-Nya yang terakhir kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad (s.a.w.).
            Ajaran yang dibawa Musa, Isa, Krishna, Zoroaster (a.m.s.) dan nabi-nabi lain kepada berbagai bagian dunia, adalah laksana anak-anak sungai yang mengalir sebelum suatu sungai besar terwujud alirannya. Semuanya baik dan berfaedah. Tapi akhirnya semuanya perlulah mengalir ke dalam sebuah sungai dan menunjukkan Keesaan Tuhan dan menuju ke tujuan terakhir yang satu, yang menjadi sebab manusia diciptakan. Agama-agama yang turun sebelum Islam hanya berlaku untuk kaum dan masa yang tertentu dan bukan untuk seluruh dunia.

Keadaan Agama-Agama Sebelum Islam
            Apakah ajaran agama-agama yang turun sebelum Islam masih dalam bentuknya yang asli? Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus ingat bahwa tolak ukur pertama yang dengan itu kita dapat mengukur faedah suatu kitab ialah: terhindar dari campur tangan dari luar. Suatu kitab wahyu adalah lebih tinggi derajatnya dari pada buku buatan manusia, karena kita dapat menilai bahwa kitab wahyu tidak akan membawa kita kepada kesalahan. Tuhan ialah penyuluh sejati. Karena itu, dalam kitab yang diwahyukan-Nya kita dapat berharap akan menjumpai hanya nur dan kebenaran, bukan kegelapan dan kesesatan. Jika dalam pengertian kita tentang Tuhan tidak terangkum kepercayaan semacam itu terhadap apa yang diwahyukan-Nya, maka pengertian itu tak ada artinya. Sekiranya kabar-kabar dari Tuhan dapat pula keliru, apakah dasar bagi kita untuk berpendapat bahwa ajaran Tuhan lebih luhur dari ajaran manusia? Dalam kepercayaan kepada suatu kitab juga termasuk kepercayaan bahwa kitab itu luput dari kesalahan. Tapi tidak mustahil bahwa suatu kitab yang pada mulanya diwahyukan oleh Tuhan dapat mengalami campur tangan manusia. Kalau isi suatu kitab mengalami penambahan atau pengurangan oleh tangan manusia, maka kitab itu tidak dapat lagi berguna sebagai penyuluh.
            Jika kita mengkaji kitab-kitab wahyu sebelum Islam dari segi pandang itu, kita akan mengetahui bahwa kitab-kitab itu tidak memuaskan sama sekali. Kitab-kitab itu – baik kitab agama Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha dan lain-lain – telah mengalami sisipan-sisipan dan perubahan-perubahan. Namun waktu tidak memungkinkan untuk menguraikan bahasan ini secara rinci. Cukuplah kita buktikan di sini bahwa kitab-kitab agama terdahulu keadaannya yang sekarang tidak seperti ketika mula-mula diwahyukan. Untuk lebih rincinya para pembaca dipersilakan untuk membaca sendiri buku-buku yang telah ditulis mengenai masalah ini. Sudah cukup banyak buku dan literatur yang diterbitkan dalam membahas uraian ini, antara lain buku “Pengantar Untuk Mempelajari Al-Qur-an” yang ditulis Hadhrat Khalifatul Masih II (r.a.).

Perlunya Agama Baru Yang Murni Dan Sempurna
            Dengan berlalunya waktu maka para pengikut agama-agama itu sendiri melakukan campur tangan dan mengubah ajaran-ajaran asli yang dibawa para nabi tersebut. Ajaran yang telah berubah itu tidak dapat menyampaikan manusia untuk menciptakan hubungan dengan Tuhan. Sehingga untuk itu diperlukan ajaran agama yang murni datang dari Tuhan dan tidak mengalami campur tangan manusia dalam bentuk apapun. Kitab itu adalah Al-Qur-an. Hadhrat Masih Mau’ud (a.s.) bersabda bahwa sekarang ini tidak ada kitab yang dapat membawa manusia kepada Tuhan kecuali Al-Qur-an. Hanya dengan mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur-an kita dapat memperoleh perjumpaan dengan Tuhan.
            Di atas telah dikemukakan ayat-ayat yang menerangkan bahwa orang-orang yang beragama selain Islam juga memperoleh keselamatan. Namun ayat-ayat di atas (QS 2:63 juga 5:70) tidak berarti bahwa iman kepada Tuhan dan kepada Hari Kiamat saja cukup untuk mencapai keselamatan seperti halnya orang-orang keliru memahaminya. Al-Qur-an menerangkan dengan tegas bahwa iman kepada Rasulullah (S.A.W.) itu sangat pokok (4:151-152, 6:93) dan merupakan bagian tak terpisahkan dari keimanan kepada Tuhan, dan juga bahwa iman kepada akhirat, mencakup juga iman kepada wahyu Ilahi (4:151-152, 6:93). Di tempat lain telah dinyatakan dengan tegas bahwa, hanya Islam yang dapat diterima oleh Tuhan sebagai agama (3:20, 86). Al-Qur-an di sini membatasi diri pada sebutan iman kepada Tuhan dan hari kiamat, bukan karena iman kepada wahyu dan kepada Rasulullah(S.A.W.) itu tidak bersifat pokok, tetapi karena kedua rukun iman pertama itu, meliputi juga dua rukun iman yang belakangan, keempat-empatnya benar-benar tidak dapat dipisah-pisahkan. Pada hakikatnya ayat ini dimaksudkan untuk melenyapkan kepercayaan agama Yahudi yang keliru bahwa mereka adalah “bangsa yang dianak-emaskan Tuhan”, dan oleh karena itu, hanyalah mereka yang berhak mendapat najat (keselamatan). Ayat ini berarti bahwa tidak menjadi soal, apakah orang itu pada lahirnya orang Yahudi, Kristen, Shabi atau Muslim; bila keimanan hanya di bibir saja, maka iman demikian itu merupakan suatu barang mati, tanpa jiwa dan tanpa kekuatan bergerak sedikitpun di dalamnya. Ayat ini juga dianggap mengandung suatu nubuwatan dan tolok ukur yang aman, untuk menguji kebenaran Islam. Nubuwatan itu ialah bahwa Islam akan menang, karena Islam itu adalah agama yang benar. Tolok ukur itu terletak pada kenyataan bahwa, nubuwatan itu dikemukakan pada saat ketika Islam sedang berjuang mempertahankan hidupnya sendiri. Ayat ini juga dapat pula diartikan bahwa, semua yang mendakwakan diri sebagai orang yang beriman, apakah mereka orang Yahudi, Kristen atau Shabi atau termasuk suatu agama apapun, bila iman mereka kepada Tuhan atau hari kiamat benar dan jujur, dan mereka beramal shalih – yang merupakan inti sari agama yang benar, yakni Islam – maka tiada ketakutan akan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih.
            Setiap orang yang sudah mendengar nama Nabi Muhammad (s.a.w.) dan kepadanya telah dikemukakan segala keterangan dan dalil-dalil tentang kebenaran beliau, terkena kewajiban untuk beriman kepada beliau. Tanpa keimanan kepada beliau, maka dia tidak berhak untuk memperoleh keselamatan. Dan kesucian yang hakiki dapat diperoleh hanyalah dengan mengikuti jejak beliau. Tidak ada orang, yang sudah cukup diberi pengertian-pengertian tapi dia tidak mau beriman, yang dapat terhindar dari siksaan Tuhan.

Daftar Bacaan:
1.       Al-Qur-an Dengan Terjemah Dan Tafsir Singkat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
2.      Pengantar Untuk Mempelajari Al-Qur-an, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad.
3.      Filsafat Ajaran Islam, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad.
4.      Ajaranku, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad.
5.      Apakah Ahmadiyah Itu?, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad.
6.      Keputusan Samawi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad.
Surabaya, 5/1/2012
ABDUS SALAM SATU DUTA TIGA DUNIA

REPUBLIKA, Minggu, 24 November 1996, h.1, kolom 3 .
Duapuluh tahun lalu -- ketika Pakistan dipimpin PM Zulfikar Ali Bhutto -- dia pergi dari Lahore dan London untuk melanjutkan pertualangannya dalam riset fisika partikel. Kini -- dalam status almarhum -- dia "pulang kampung" untuk dimakamkan di Rabwa, Punjab, hanya beberapa pekan setelah Benazir Bhutto [putri mendiang Ali Bhutto] kehilangan kursi PM-nya. 

Prof.Abdus Salam, fisikawan peraih Nobel Fisika 1979, meninggal Kamis [21 Nov] di Oxford, Inggris, dalam usia 70 tahun dan meninggalkan seorang istri serta enam anak [dua laki-laki dan empat perempuan]. 

"Dia meninggal di rumahnya [di Oxford, Inggris] setelah cukup lama menderita Parkinson," kata Abdu Wahab, saudara kandung Salam di Islamabad, Pakistan. 

Salam adalah satu dari empat muslim yang pernah meraih Hadiah Nobel. Tiga lainnya adalah Presiden Mesir Anwar Sadat [Nobel Perdamaian 1978], Naguib Mahfoud [Nobel Sastra 1988], Presiden Palestina Yasser Arafat [bersama dua rekannya dari Israel, Nobel Perdamaian 1995]. 

Abdus Salam adalah fisikawan muslim yang paling menonjol abad ini. Dia termasuk orang pertama yang mengubah pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar yang berperan di alam ini. Yaitu, gaya listrik, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan dalam inti, serta gaya lemah yang antara lain bertanggung jawab terhadap lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif.
Selama berabad-abad kelima gaya itu dipahami secara terpisah menurut kerangka dalil dan postulatnya yang berbeda-beda. 

Adanya kesatuan dalam interaksi gaya-gaya dirumuskan oleh trio Abdus Salam-Sheldon Lee Glashow-Steven Weinberg dalam teori "Unifying the Forces". Menurut teori yang diumumkan 1967 itu, arus lemah dalam inti atom diageni oleh tiga partikel yang masing-masing memancarkan arus atau gaya kuat. Dua belas tahun kemudian hukum itulah yang melahirkan Nobel Fisika 1979. 

Eksistensi tiga partikel itu telah dibuktikan secara eksperimen tahun 1983 oleh tim riset yang dipimpin Carlo Rubia direktru CERN [Cetre Europeen de Recherche Nucleaire] di Jenewa, Swiss. Ternyata, rintisan Salam itu kemudian mengilhami para fisikawan lain ketika mengembangkan teori-teori kosmologi mutakhir seperti Grand Theory (GT) yang dicanangkan ilmuwan AS dan Theory of Everything-nya Stephen Hawking. Melalui dua teori itulah, para fisikawan dan kosmolog dunia kini berambisi untuk menjelaskan rahasia penciptaan alam semesta dalam satu teori tunggal yang utuh. 

Dalam usia sangat muda [22 tahun] Salam meraih doktor fisika teori dengan predikat summa cumlaude di University of Cambridge, sekaligus meraih Profesor fisika di Universitas Punjab, Lahore. Khusus untuk pelajaran matematika ia bahkan meraih nilai rata-rata 10 di St.John's College, Cambridge.
Karena kecerdasannya yang luar biasa, Salam pernah dipanggil pulang oleh Pemerintah Pakistan. Selama sebelas tahun sejak 1963 dia menjadi penasihat Presiden Pakistan Ayub Khan khusus untuk menangani pengembangan iptek di negaranya. Ia mengundurkan diri dari posisinya di pemerintah ketika Zulfiqar Ali Bhutto naik menjadi PM Pakistan.
Sebagian besar usianya dihabiskan sebagai guru besar fisika di Imperial College of Science ang Technology, London, dari 1957-1993. Sejak 1964 ia menjadi peneliti senior di International Centre for Theoretical Physics [ICTP] di Trieste, Italia, sekaligus menjadi direkturnya selama 30 tahun. 

Hingga akhir hayatnya, putra terbaik Pakistan itu mendapat tak kurang dari 39 gelar doktor honoris causa. Antara lain dari Universitas Edinburgh [1971], Universitas Trieste [1979], Universitas Islamabad [1979], dan universitas bergengsi di Peru, India, Polandia, Yordania, Venezuela, Turki, Filipina, Cina, Swedia, Belgia dan Rusia. Ia juga menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional 35 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. 

Lahir 29 Januari 1926 di Jhang, Lahore, Pakistan, Abdus Salam tergolong duta Islam yang baik. Sebagai contoh, dalam pidato penganugerahan Nobel Fisika di Karolinska Institute, Swedia, Abdus Salam mengawalinya dengan ucapan basmalah. Di situ ia mengaku bahwa riset itu didasari oleh keyakinan terhadap kalimah tauhid. "Saya berharap Unifying the Forces dapat memberi landasan ilmiah terhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa," kata penulis 250 makalah ilmiah fisika partikel itu. 

Dalam makalah Faith and Science, Salam menegaskan bahwa pemahaman sains masa kini sesungguhnya tidak bertabrakan dengan pemikiran metafisika dalam pemahaman agama. "Masalah itu setidak-tidaknya tidak akan terjadi dalam Islam." Konsep kosmologi modern yang sedang dikembangkan untuk memahami teori penciptaan alam semesta, menurutnya, kini dapat dipahami semakin dekat dengan konsep penciptaan yang diisyaratkan Alquran.
"Saya muslim karena saya percaya dengan pesan spiritual Alquran. Alquran banyak membantu saya dalam memahami Hukum Alam, dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi dan kedokteran sebagai tanda bagi seluruh manusia," kata Abdus Salam dalam satu sidang UNESCO di Paris, 1984. 

Dengan makalah The Holy Quran and Science, saat itu ia banyak mengutip ayat. Antara lain Alquran 88:17 dan Alquran 3:189-190 yang antara lain mengisahkan soal penciptaan langit, bumi dan seisinya. 

Menjadi anggota kehormatan dari Akademi Ilmu Pengetahuan AS dan Rusia, ternyata tidak menghambatnya untuk berkiprah di sejumlah negara berkembang. Itu juga dilakukannya ketika ia bertugas di Komite Sains PBB dan 35 organisasi profesi ilmiah. 

Maka, tak aneh, bila mantan Vice Presiden dari International Union of Pure and Applied Phyusics (IUPAP) (1972-78) itu pun meraih tujuh penghargaan atas kontribusinya dalam mempromosikan perdamaian dan kerjasama iptek internasional. Antara lain Atoms for Peace Medal and Award dari Atoms for Peace Foundation (1968), First Edinburgh Medal and Prize dari Skotlandia (1988), "Genoa" International Development of Peoples Prize dari Italia (1988) dan Catalunya International Prize dari Spanyol (1990). 

Begitulah ketokohan Abdus Salam memang pantas diakui. Dan, Dr Robert Walgate, wartawan senior dari New Scientist, pernah mengatakan, "Abdus Salam adalah fisikawan muslim yang cemerlang dalam mengemban misinya sebagai duta dari tiga dunia: Islam, fisika teori dan kerja sama internasional." (dedi junaedi)




Tak Ada Monopoli Dalam Kebaikan

            Pada tahun 1944,  ketika Tahir berusia enam – belas tahun dan akan menghadapi ujian matrikulasi ,ibunya wafat . Beliau sudah sakit untuk beberapa lama dan tiga bulan  lebih masuk  rumah sakit di Lahore .khalifah  menunggui  beliau  hampir sepanjang waktu , juga putri – putri  beliau . Tahir , karena ujian – ujiannya , terpaksa  tinggal di  Qadian dan cuma bisa  menjenguk beliau  pada akhir pekan .

            Zafrullah  Khan , seorang sahabat Masih Mau’ud  yang  kemudian  menjadi  Mentri  Luar Negeri Pakistan ,Ketua Majlis Umum  PBB ,dan Ketua Mahkamah Agung Internasional ,adalah sahabat dekat keluarga ini Beliau kemudian berkata bahwa kewafatan ibunya telah membenamkan Tahir dalam kesedihan. Sejak itu  tertawa dan kedukaan  jelas terpantul dalam puisinya.

            Sepupunya, M.M. Ahmad, mengenang, ”Kenangan yang paling jelas dalam ingatan saya adalah peristiwa wafatnya Ibu beliau dalam usia sedang prima, sekitar 40 – tahunan .Hal ini merupakan pukulan hebat bagi seluruh keluarga, juga bagi seluruh Jemaat yang biasanya sangat mencintai dan menghormati beliau secara istimewa .

            “Dalam suatu sembahyang di Masjid Mubarak saya masih dapat melihat beliau sebagai pemuda remaja berdiri di ruangan dekat masjid, tempat cadangan kalau umat yang sembahyang melimpah.beliau berada dalam kesedihan mendalam dan sedang khusyu’ sebahyang dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa.

             “Saya tidak pernah dapat melupakan pemandangan ** itu, hari ini setelah 46 tahun berlalu, kenangan itu masih jelas dan segar dalam ingatan saya seakan-akan baru terjadi kemarin. Tentunya ada sesuatu yang begitu dalam mengesankan, begitu kuat, sehingga kenangan akan kesedihan itu tidak pernah meninggalkan saya selamanya”

            Meskipun pelajaran-pelajarannya masih berjalan tanpa hasil terbaik Tahir telah menjadi kutu buku. Ia tidak hanya membaca karya-karya penulis Urdu klasik tapi juga terjemahan-terjemahan berbahasa Urdu dari Shakespeare, Charles Dickens, Conan Doyle, dan penulis -punulis Inggris lainnya. Beliau menganggap “Tiga Orang Di Perahu” karya K. Jerome sangat lucu.

            Di rumah ada pengertian terhadap nilai-nilai budaya Eropa, katanya. “Hal itu tidak terlalu asing bagi kami karena, dalam beberapa hal ayah saya berpikiran sangat maju. Dalam pendidikan putri-putri beliau, beliau sangat Liberal. Mula-mula beliau menggaji seorang guru Jerman, kemudian seorang guru Inggris, untuk mengajar saudara-saudara perempuan saya. Mereka tinggal di rumah kami.”

            “Jadi sejak kecil saya mengenal tata cara Jerman dan Inggris. Saya tahu bagaimana mereka memandang sesuatu hal. Dan, tentunya, karena membaca begitu banyak buku-buku dari Inggris saya terbiasa mengenal kehidupan orang Inggris dan humor mereka”

            Tahir sudah mulai menulis puisi. Mula-mula ia menyimpan puisinya hanya untuk diri sendiri – tidak banyak penyair muda yang suka memaparkan pikiran mereka kepada *** orang tua dan saudara-saudara. Tetapi kemudian hal itu diketahui keluarga dan ia diminta untuk membacakan salah satunya.

            “Puisi itu begitu sedih dan membuat tertekan,”kenang Tahir, “Tapi saya masih heran ketika melihat sebagian anggota keluarga menangis.
            “Setelah itu mereka biasa memanggil saya “Ayo, bacakan beberapa puisimu”. Sebagian puisinya riang ceria, sebagian lagi sangat lucu, dan lainnya sangat sedih. Saya kelihatannya tidak pernah menulis setengah-setengah.”

            Kedua saudara Ibu mengambil alih tugas ibunya dan Tahir jadi menyayangi mereka. Ayahnya membimbing pendidikannya agak tegas. “Dalam beberapa hal beliau sangat tegas. Dalam beberapa hal lain beliau santai. Beliau sangat menarik – kombinasi antara ketegasan dan santai.

            “Ayah saya memahami kelemahan manusia jadi beliau tidak suka kalau kesalahan kami dilaporkan kepada beliau. Jadi beliau akan memberi kami waktu dan kesempatan untuk mencoba membuat kami mengerti. Jika kelemahan-kelemahan itu muncul kepermukaan beliau akan menasehati kami tanpa menyebutkan nama yang bersalah, beliau menjelaskan bahwa hal-hal yang demikian salah dan harus dihindari.

            “Tetapi jika seseorang tertangkap berbuat kesalahan beliau akan menghukum dengan keras. Prinsip-prinsip beliau sangat tegas. Dalam masalah keuangan beliau tidak akan mentolerir kesalahan yang paling kecilpun. Seorang Khalifah harus melatih Jemaat dalam sebuah system pengorbanan uang yang seluruhnya berupa pilihan. Itulah sebabnya beliau tidak pernah plin-plan kepada siapa yang lalai dan memboroskannya.

            “Terhadap keluarga beliau, beliau sangat tegas. Saya ingat sekali waktu saya menulis surat ke Calcutta untuk mengirimkan barang kepada saya. Beliau menjadi curiga dan bertanya, ‘Apakah kamu memintanya ? Apakah kamu sudah bayar ? Apakah dia menawarkannya sebagai hadiah ?

            Saya jawab bahwa ia menawarkannya sebagai hadiah, tapi saya tolak., saya sudah bayar setengahnya dan masih harus membayar sisanya. Beliau menjadi sangat marah dan memberitahu saya bahwa hadiah-hadiah datang dengan sukarela, tidak harus diminta. Jika kamu meminta sesuatu maka kamu harus langsung membayarnya. Kalau tidak kamu memaksa orang yang kamu mintai tolong untuk berkorban uang.”

            Kadang-kadang Khalifah akan menyebut Masih Mau’ud jika beliau ingin mempertegas suatu masalah. Beliau selalu menyebut Masih Mau’ud sebagai pendiri Jemaat, tidak pernah sebagai kakek mereka.

            Misalnya, Suatu kali, beliau melihat Tahir keluar rumah tanpa topi. Dinegara-negara barat membuka tutup kepala didepan orang-orang terhormat adalah tanda hormat. Di Timur menutup kepala adalah tanda hormat.
            Jadi Khalifah memanggil Tahir kembali kerumah. “Lihat,” kata beliau. “Pendiri Jemaat tidak akan suka jika kamu pergi kejalan seperti itu. Jadi lain kali pakailah selalu topimu.”
            Beliau juga berkeras dalam adat-adat serta kebiasaan-kebiasaan Islam sepeti memasang sepatu kanan terlebih dahulu dan memasuki mesjid dengan kaki kanan.
            Pentingnya agama-agama lain sangat ditekankan dalam ajaran beliau kepada anak-anak beliau. Mereka diberitahu agar mereka tidak mencoba memonopoli kesucian, amal-amal baik, nilai-nilai moral saja sehingga dalam agama lain tidak ada. Juga bukanlah sikap seorang muslim yang baik untuk menjauhi tetangga hanya karena ia seorang Hindu atau Sikh.

            Khalifah tentu saja mengetahui ‘Jembatan’ yang dibuat oleh Tahir, saudara-saudara laki-lakinya, dan anak-anak Hindu disebelah rumah untuk menghubungkan rumah mereka. Beliau menyetujui ini.

            Jadi meskipun kadang-kadang para anggota fundamentalis Hindu dari Sekte Ariasamaj datang ke Qadian untuk mengadakan konferensi dan membual bahwa mereka akan menghancurkan Jemaat Ahmadiyah beserta setiap orang didalamnya, ekses agama ini tidak mengganggu persahabatan anak-anak Khalifah dengan tetangga-tetangga Hindu mereka.

            “Kami diberitahu untuk tidak menentang kepercayaan-kepercayaan agama lain dengan polemik, tetapi dengan perbedaan-perbedaan pendapat yang dipegang murni. Kami tidak pernah diizinkan mengubah perbedaan pendapat ini menjadi pertengkaran dalam sikap hidup sehari-hari kami”

            Tentang kebenaran logika Islam Tahir tidak mempunyai keraguan, tapi ia mulai memasuki keraguan tentang eksistensi Tuhan sendiri.
            “Saya merasa yakin bahwa secara teoritis Tuhan dapat ada. Tetapi apakah ia masih ada ?”. (MOG/hr/hns/kk)



Wahyu,  Rasionalitas,  Pengetahuan & Kebenaran 
Oleh: Hadhrat Mirza Tahir Ahmad

Setiap membagi antara wahyu dan rasionalitas, agama dan logika harus irasional.
Jika agama dan rasionalitas tidak dapat melanjutkan bergandengan tangan, harus ada sesuatu yang sangat salah dengan salah satu dari dua.
Apakah wahyu memainkan peran penting dalam urusan manusia?
Bukankah rasionalitas yang cukup untuk membimbing manusia dalam semua masalah yang menghadapinya?
Banyak pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan diperiksa dengan perhatian detil.

Semua masalah utama yang intrik pikiran modern tersebut berupaya dimasukkan dalam undang-undang asyik komprehensif. Apapun latar belakang intelektual atau pendidikan pembaca, buku ini pasti akan menawarkan sesuatu yang menarik nya. Ini mengkaji rentang yang sangat beragam dan luas mata pelajaran termasuk konsep wahyu dalam agama-agama yang berbeda, sejarah filsafat, kosmologi, kehidupan di luar Bumi, masa depan kehidupan di bumi, seleksi alam dan perannya dalam evolusi. Hal ini juga panjang lebar membahas kedatangan Mesias, atau reformis universal lainnya, ditunggu oleh agama-agama yang berbeda. Demikian pula, banyak isu-isu hangat lainnya yang telah menghasut pikiran manusia sejak jaman dahulu juga dimasukkan. 

Penekanan utama adalah pada kemampuan Quran dengan benar membahas semua kejadian penting dari masa lalu, sekarang dan masa depan dari awal sampai akhir alam semesta akhirnya. Dibantu oleh logika tak terbantahkan yang kuat dan bukti ilmiah, Quran tidak menjauhkan diri dari mempresentasikan dirinya ke pengawasan tanpa ampun rasionalitas. Ini akan sulit untuk menemukan pembaca yang query tidak memuaskan dijawab. Kami berharap bahwa kebanyakan pembaca akan bersaksi bahwa ini akan selalu berdiri sebagai sebuah buku di antara buku-prestasi mungkin sastra terbesar abad ini. 


Bagian I
Pendahuluan dengan Perspektif Sejarah
HE STUDI tentang sejarah pemikiran keagamaan dan sekuler mengungkapkan bahwa sepanjang zaman filsuf besar, orang bijak dan para pemimpin keagamaan yang diselenggarakan pandangan yang berbeda tentang nilai-nilai perbandingan nalar, logika dan wahyu. Dengan demikian, mereka dapat dibagi ke dalam berbagai kelompok. 


Ada yang menekankan peran rasionalitas untuk sebuah gelar yang mereka menganggap hal itu sebagai satu-satunya cara yang sah untuk menemukan kebenaran. Bagi mereka, satu-satunya kesimpulan layak penerimaan adalah salah satu yang dapat diperoleh melalui penalaran logis dialektis berdasarkan fakta-fakta yang diamati. Oleh karena itu, mereka percaya bahwa kebenaran (dalam bentuk apapun mereka mendefinisikan itu) hanya dapat dicapai melalui fakultas penalaran.
Ada pemikir yang percaya dalam fenomena bimbingan Ilahi yang, menurut mereka, memainkan peranan yang pasti dalam mencerahkan pikiran manusia, dengan memberikan jawaban atas banyak pertanyaan yang belum terselesaikan. 


Sekali lagi ada orang-orang yang percaya kebenaran yang dapat dicapai sepenuhnya melalui pengalaman batin yang disebut sebagai 'inspirasi' sebagai. Mereka menganggap hal itu dapat dicapai melalui pencarian jauh di dalam diri sendiri, seakan cetak biru yang telah tercetak pada setiap jiwa manusia. Mereka menggali jauh di dalam diri mereka sendiri, dan melalui studi introspektif mencapai pemahaman fundamental alam dan cara kerjanya. 


Cara lain mencapai kebenaran bersama baik oleh sekolah-sekolah agama dan sekuler penyelidikan adalah mistisisme. Mistifikasi kehidupan tampaknya menjadi kecenderungan umum dimiliki oleh orang beriman dan kafir sama. Mistik mungkin milik semua kategori yang disebutkan di atas dan metodologi mereka bisa filosofis atau agama. tanda mereka membedakan adalah bahwa mereka menikmati samar. 


Kemudian ada pseudo-filsuf yang menggunakan kata dan frasa yang terlalu sulit untuk orang biasa untuk memahami. Sehingga mereka menyembunyikan pandangan mereka balik layar mistik bertele-tele mereka. Namun ada orang lain, yang memiliki pikiran yang benar-benar ilmiah tetapi mistikus semua sama, seperti juga Pythagoras dan Averroes. Mereka bersembunyi jauh di dalam mencari benih kebenaran dan tidak tetap puas dengan melayang di permukaan hal. Untuk melacak mereka dengan konsentrasi pikiran selalu bermanfaat.
Dalam agama, kita menemukan mistikus corak dan warna. Ada orang yang, sementara menerima dan memenuhi peringatan keluar yang dibutuhkan oleh bentuk agama, berusaha untuk menemukan makna lebih dalam di bawah permukaan. Juga, ada beberapa orang yang terlalu menekankan arti batin pada biaya dari bentuk eksternal, kadang-kadang melakukan jauh dengan peringatan sama sekali. 


Tetapi pengikut agama-agama yang didasarkan atas wahyu tidak selalu tetap terbatas pada diskusi dalam batas-batas kebenaran revelational. Pada tahap akhir dari setiap agama kita juga menemukan perdebatan tersebut, seperti sulit didefinisikan sebagai seluruhnya agama di alam. Pertanyaan kuno yang sama sekali lagi dihidupkan kembali dalam kerangka baru. Apa alasannya? Apa bagian apakah itu bermain dalam urusan manusia, dan mana berdiri wahyu dalam kaitannya dengan logika dan akal? 


Hal ini universal mengamati bahwa saling berbagai ide pada tahap akhir dari sejarah agama cenderung untuk kembali ke kebingungan yang berlaku sebelum kedatangan mereka. Hal ini terjadi karena pengaruh manusia terhadap agama selalu untuk memecah menjadi faksi-faksi dan sebagian kembali ke ide-ide mitos yang lebih tua dan filosofi. Hal ini jarang menyebabkan reunifikasi dari sekolah yang berbeda pemikiran lahir melalui proses yang merosot agama membagi dan membagi. degenerasi ini tampaknya tidak dapat diubah.
ELIGIONS yang dimulai dengan iman yang teguh di dalam Kesatuan Allah, secara bertahap pembusukan ke perpecahan musyrik banyak. Ada upaya sesekali dibuat oleh manusia untuk menyusun kembali kesatuan pemahaman keagamaan di kalangan orang-orang dan membangun kembali Kesatuan Allah. Sayangnya, upaya-upaya tersebut hanya memperoleh keberhasilan yang terbatas. Secara keseluruhan, proses ini tidak pernah terbalik, kecuali Ilahi dibantu dan dibimbing. 


Kita tidak bisa bahas di sini secara rinci semua pandangan yang berbeda dikemukakan oleh para filsuf masa lalu dan orang bijak, tetapi kami akan memberikan penjelasan singkat tentang penilaian wahyu, rasionalitas dan keterkaitan mereka yang dibuat oleh berbagai tokoh intelektual masa lalu.
Apakah kebenaran abadi, dan apa yang pengetahuan? Apa hubungan, jika ada, antara kedua? Apakah wahyu memberikan pengetahuan yang pada gilirannya menyebabkan kebenaran abadi, atau bisa keduanya dapat dicapai melalui rasionalitas saja? 


Ini, dan banyak pertanyaan serupa lainnya telah mengagitasi pemikiran para filsuf, ulama agama dan pemikir sekuler sejak jaman dahulu. Namun sebelum kita memulai suatu studi mendalam hati-hati, itu akan tepat mungkin untuk lebih menjelaskan sifat kebenaran abadi seperti yang dipahami oleh para pemikir yang berbeda. 


Semua orang percaya di dalam Allah yang mendukung penyebab kebenaran abadi, memahaminya menjadi realitas tidak bisa diubah dalam hubungannya dengan masa lalu, sekarang dan masa depan. Dengan demikian, terutama, itu adalah untuk Allah dengan sifat-sifat-Nya yang mereka lihat sebagai Kebenaran Abadi. Namun, ketika filsuf sekuler membahas masalah yang sama, mereka tidak selalu membicarakan hal ini dalam hubungan dengan Tuhan. Diskusi mereka umumnya berkisar nilai-nilai tertentu seperti kebenaran, kejujuran, integritas, iman, dll loyalitas Pertanyaan utama yang agitates pikiran para filsuf adalah apakah terdapat suatu realitas tak berubah bahkan dalam menghadapi keadaan berubah. Kelebihan dari kebenaran yang diberikan sendiri banyak waktu yang menantang seperti itu. Orang sering mulai bertanya-tanya apakah kebenaran tidak akan memperoleh arti yang berbeda dalam situasi yang berbeda. 


Nother ASPEK pertanyaan yang sama berkaitan dengan konsep kebenaran sebagaimana yang berlaku pada realitas tersembunyi di balik layar apa yang tampak. Sebagai contoh, jika kita memperlakukan cahaya matahari sebagai sebuah realitas independen kami mungkin salah. Lebih dari lampu itu sendiri itu adalah realitas penyebab radiasi yang bekerja di balik semua manifestasinya, cahaya yang hanya salah satu dari mereka. Kebenaran universal yang tersembunyi adalah radiasi yang mungkin atau mungkin tidak bergetar pada spektrum yang manusia lihat sebagai cahaya. Dari sudut ini, tidak ada yang tampaknya abadi tentang luminositas matahari. Tetapi jika, seperti yang disarankan di atas, alasan mengapa matahari memancarkan sempurna dipahami, maka di mana pun alasan yang ditemukan di tempat kerja, maka akan menghasilkan hasil yang sama dan karena itu, bisa disebut sebagai kebenaran 'abadi' yang perintah hukum radiasi dan luminositas. Dengan ilustrasi ini menjadi sangat jelas bahwa istilah 'abadi' tidak selalu menunjukkan keadaan tak terputus, terus-menerus kontinuitas. Di sini hanya berlaku untuk fenomena kausatif, yang selalu hadir setiap kali akan menghasilkan hasil yang sama. 


Dalam pemahaman sederhana kebenaran yang kekal, yang berkaitan dengan realitas eksternal, fenomena gravitasi bisa benar disebut kebenaran sebagai abadi. Namun, harus dipahami bahwa setiap variasi menit dalam aplikasi tarik gravitasi tidak dengan cara apapun tantangan realitas mendasar berubah gravitasi.
Ini menjadi jelas dari pembahasan sebelumnya bahwa meskipun semua kebenaran kekal menimbulkan pengetahuan yang pasti, semua jenis pengetahuan, bagaimanapun, tidak dapat didefinisikan sebagai abadi. Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai persepsi dari sesuatu yang aman disimpan dalam pikiran sebagai bagian informasi yang dapat diandalkan. Semua potongan seperti mengumpulkan informasi membangun gudang pengetahuan manusia. Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan tertentu, dan bagaimana kami dapat menentukan pengetahuan khusus adalah palsu dan yang benar? 


Sekali lagi, dengan cara apa yang bisa kita kategorikan sebagai kebenaran sementara pengetahuan, kebenaran substansial, kebenaran abadi, dll kebenaran bersyarat? Hanya fakultas manusia penalaran dan rasionalitas yang ruminates fakta-fakta ini karena mereka dimasukkan ke otak, ternyata mereka lagi dan lagi dan permutates mereka ke dalam berbagai kemungkinan kombinasi. Proses mental memilah kanan dari yang salah, yang pasti dari tidak terbatas, adalah mekanisme rasionalitas. 


Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana metode menganalisis unsur pengetahuan dapat diandalkan. Ketika kita mencapai tahap ini pemahaman kita tentang rasionalitas, pertanyaan menarik lain juga mulai menaikkan kepala mereka. Kita tahu, misalnya, bahwa pikiran manusia tidak ada konsistensi dalam kaitannya dengan temuan sendiri. Kita tahu dengan pasti bahwa apa pun yang dianggap rasional dalam satu usia belum tentu dianggap rasional di negara lain. Kita tahu, tanpa diragukan lagi, bahwa fakultas penalaran telah semakin berkembang dan jatuh tempo sejak manusia muncul dari domain kerajaan binatang ke dunia manusia. Sejak saat itu, pengalaman kolektif seperti yang mengumpulkan dalam bentuk pengetahuan dan kebenaran dalam pikiran manusia terus meningkatkan kemampuan penalaran dan kualitas penilaian rasional nya.


Sebagai latihan fisik meningkatkan kekuatan otot, demikian juga kemampuan mental, rasional dan dpt mengembangkan dan memperoleh kekuatan dengan latihan mental. Ini adalah latihan ini mungkin yang mungkin juga telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan evolusi progresif dalam massa otak hewan.
Ini realisasi kemajuan progresif fakultas mental kita meskipun menyambut pada satu hitungan, agak tidak disukai yang lain. Hal ini menempatkan pertanyaan keandalan sangat pemotongan mental kita rasional selama tahap-tahap perkembangan yang berbeda kita. 


Apakah tidak mungkin bahwa fakta-fakta yang sama diberikan kepada otak manusia pada berbagai tahap perkembangannya dapat mengakibatkan kesimpulan yang berbeda? Jika realitas objektif tampak berbeda bila dilihat dari titik pandang yang berbeda, jika kesimpulan ditarik oleh pikiran manusia yang tidak bias juga berbeda dalam usia yang berbeda, maka akan hal itu dibenarkan untuk menghukum mereka karena hanya kebenaran dibenarkan? Dengan fakultas kami logika deduktif dan penalaran sendirian di setiap saat, kita tidak bisa mengucapkan apapun pengetahuan yang kita miliki sebagai kebenaran mutlak. 


Isu-isu kita akan membahas adalah mengenai instrumen yang dapat menyebabkan pengetahuan dan cara di mana setiap pengetahuan yang dapat dipastikan sebagai kebenaran. Jika semua titik pandang manusia actually ditempatkan pada platform bergerak, dengan perubahan konstan dalam sudut visi, bagaimana setiap pengetahuan atau bagian dari informasi yang kami dapatkan dideklarasikan, dengan pasti, untuk menjadi kebenaran? Ada satu titik pandang, yaitu Allah Sang Pencipta, yang kekal dan konstan. Oleh karena itu, jika keberadaan Maha Mengetahui, Mahakuasa, omnipresent Allah terbukti dan jika Dia adalah Abadi, sempurna, Transenden, Maha Kuasa dan Pemilik mutlak-kemungkinan atribut lalu dan hanya kemudian bisa memperoleh pengetahuan dari kebenaran kekal melalui Dia timbul . Tetapi hipotesis ini hanya tergantung pada premis bahwa tidak hanya seperti Mahatinggi ada, tetapi bahwa Ia juga berkomunikasi dengan manusia. Ini adalah komunikasi Allah dengan manusia yang disebut agama wahyu dalam terminologi. 


Untuk membahas masalah impor yang demikian besar, murni atas dasar sekuler dan rasional bukanlah tugas yang mudah. Tambahkan ke pertanyaan ini dari wahyu memiliki memainkan peranan yang berarti dalam pedoman manusia, dan tugas akan menjadi semua lebih menantang. Namun ini adalah tugas kami telah melakukan, dengan realisasi penuh dari semua kompleksitas yang terlibat. 


Pembaca yang paling rendah hati diminta untuk melakukan upaya untuk tetap waspada. Begitu ia membiasakan diri dengan kerumitan dari teka-teki filosofis dan rasional, ia akan berlimpah dihargai dengan kesenangan utama menonton potongan-potongan jigsaw ini jatuh ke dalam tempat yang tepat.


Dalam aplikasi untuk agama, pandangan ini telah melahirkan sebuah sekolah sosiolog dan pemikir modern yang menganggap kelahiran dan pengembangan agama untuk menjadi refleksi dari kekuatan manusia mengembangkan penalaran. Implikasi dari hal ini adalah akal orang itu relatif primitif di masa lalu jauh menyebabkan penciptaan gambar yang saleh banyak, yang, dengan berlalunya waktu, melahirkan gagasan dewa tunggal, disebut sebagai Tuhan, Allah, Parmatma dll Jika diterima,. teori ini akan mengakibatkan kesimpulan bahwa perkembangan agama di setiap bagian-lintas sejarahnya berhubungan dengan usaha manusia mengubah kemampuan intelektual. 


Ini adalah pandangan bertentangan dengan yang dimiliki oleh berbagai agama dunia, yang semuanya percaya pada asal-usul agama Ilahi. Menurut pandangan ini, agama secara langsung diajarkan kepada manusia oleh Satu, Kekal, Maha Bijaksana Allah. Mereka melihat politeisme, yang mendominasi berbagai periode sejarah manusia, hanya sebagai proses degeneratif ¿suatu proses yang selalu mengikuti monoteisme setelah ditetapkan oleh utusan Allah. Sebuah diskusi lebih lanjut mengenai isu-isu ini akan menyusul kemudian. 


Hampir semua agama besar mengakui keyakinan pada Allah yang tidak kelihatan Siapa yang bisa dan tidak berkomunikasi dengan manusia. Mereka mengklaim bahwa Allah memilih wakil manusia dan bahwa komunikasi yang mereka terima dari-Nya adalah satu-satunya cara diandalkan untuk mencapai pengetahuan sejati. Mereka mempertahankan bahwa tidak mungkin untuk menetapkan kebenaran apapun dengan kepastian lengkap, jika didasarkan hanya pada pengalaman manusia dan pemotongan rasional nya.
Semua yang telah singkat disimpulkan di atas dibahas secara lebih terperinci dalam bab-bab berikut.