05/10/11

Bersama Membangun Bangsa Demi Kemanusiaan

Tuhan, sekecil apapun tubuh kami

Ingin rasanya kaki ini ikut menapaki Bumi Pertiwi

Rindu tangan ini mengukir dan melukis di hamparan Khatulistiwa

Tak ingin berhenti mulut dan hati bertasbih panjatkan do,a

Bersama segenap komponen Bangsa 

Berupaya berderap langkah mewujutkan Cita-cita

Meraih Damai, adil,  Makmur dan Sejahtera

Tuhan, Kabulkan yang kami pinta. Amien.
(Kk/mlk/102011)

Pekerjaan dan Kebahagiaan

Pulangnya Tahir ke Rabwah pada tahun 1957. meskipun tanpa membawa diploma kecuali dalam Bahasa Inggris, merupakan hiburan besar bagi ayahnya yang sekarang terus menurun kesehatannya. Hal itu juga untuk memberi contoh tentang cara berpikirnya yang merdeka. Seorang Ahmadi yang bertemu dengannya di Karachi menasehatkan, ”Jangan pakai setalan. Mereka akan berpikir kamu terlalu ke-Eropa-Eropaan. Pakailah achkan dan shalwar.”

            Achkan adalah jubah yang dikancing sampai keleher dan Shalwar merupakan celana katun longgar. Ini adalah pakaian muslim yang umum.
            Tahir menjawab, “Mengapa saya harus mengenakan sesuatu hanya untuk membuat orang-orang terkesan ?” Akibatnya ia berganti pakaian dengan setelannya yang terbaik. “Saya tidak mengenakannya untuk membuat orang-orang terkesan karena saya telah ke Eropa, tapi karena saya tidak ingin tampil palsu.”
            Setelah liburan singkat, yang memberi Tahir kesempatan untuk memperbaharui persahabatannya serta memahami prosedur-prosedur baru, Khalifah memberitahunya jabatan yang akan dipegangnya. Ia akan bekerja untuk Waqfi Jadid yang mengurus kebutuhan-kebutuhan orang Ahmadi yang tinggal dalam masyarakat-masyarakat rural di Pakistan. Sebagai tambahan tak lama kemudian ia terpilih sebagai ketua gerakan kaum pemuda.
            Tugas barunya dalam Waqfi Jadid membuat Tahir berhubungan langsung dengan petani-petani kecil dan orang-orang desa dan penjaga-penjaga toko yang merupakan sebagian dari kekuatan-kekuatan besar Jemaat. ”Saya harus menjaga kelompok-kelompok ini, untuk mengetahui seberapa baik mereka memelihara standard kaimanan serta pengabdian mereka.
            “Saya harus menjaga ilmu pengetahuan umum mereka juga serta melihat bagaimana mereka dapat ditolong dengan sesuatu cara yang mungkin – mungkin dengan ahli-ahli pertanian yang dapat memberi mereka metoda-metoda yang lebih baik, atau ahli-ahli teknik serta dokter-dokter dan perawat yang dapat menolong pengadaan air atau ilmu kesehatan. Dan, tentu saja, guru-guru.
            “Cita-cita kami adalah agar setiap anak laki-laki dan perempuan harus pandai membaca – tingkat bebas buta huruf yang kami minta dari orang-orang Ahmadi adalah 100 persen. Sejauh mungkin kami ingin setiap anak Ahmadi lulus sekolah menengah atas disetiap Negara didunia.
            “Saat ini saya perkirakan 100% wanita Ahmadi di Rabwah dapat membaca dan dari kaum pria sekitar 70 %, jadi perkiraan kami secara kasar 80 % orang-orang Ahmadi di Pakistan dapat membaca. Tingkat bebas buta huruf di Pakistan biasanya 27 %.
            “Pada pos saya yang baru saya biasanya bepergian secara tetap di Pakistan dan Bangladesh – saat itu merupakan Pakistan Timur – dan saya jadi sangat mengenal orang-orang. Sebagai pemuda saya tentunya merupakan anggota Gerakan Pemuda Ahmadiyah, Khuddamul Ahmadiyah, dan saya mulai dari level terbawah. Bekerja pada level itu memberi saya latihan yang baik karena saya bekerja dibawah berbagai orang.
            “Saya bekerja dibawah petugas-petugas yang tidak ramah dan bersikap dictator, yang menuntut ketaatan tetapi tidak mengenal belas kasih. Jadi hal itu membuat saya memahami situasi orang-orang yang bekerja dibawah kita dan, tentunya, didalam Jemaat ada ketaatan total. Saya tunduk taat sepenuhnya kepada atasan saya dan hal ini memberi saya pengalaman yang kaya tentang bagaimana orang-orang harus bekerja.”
            Ia segera menyadari bahwa disamping mengamati orang-orang ketika mereka sedang berhadapan dengannya, adalah perlu untuk mengamati mereka ketika mereka mamandang jauh darinya dan sedang berbicara dengan orang-orang lain.
            “Jadi saya bergerak lebih jauh daripada hanya bekerja dengan orang-orang yang berhubungan langsung dengan saya. Saya ingin tahu apa pendapat mereka akan pengurus-pengurus kelompok mereka karena kalau tidak demikian saya dapat saja memperoleh kesan yang sangat salah tentang apa yang sedang berlangsung.”
            Ia juga harus mendorong setiap Ahmadi untuk menulis kepadanya jika mempunyai suatu pujian atau ketidak –puasan. “Khususnya jika ia tidak puas. Hanya ada satu syarat – jika itu berupa keluhan maka orang yang dikeluhkan harus dikirimi tembusan surat.”
            System ini bekerja dengan sangat baik. Sebagai tambahan Tahir mulai menerima komentar-komentar serta usul-usul tentang bagaimana beberapa hal dapat diperbaiki, ide-ide yang mungkin belum pernah timbul dalam diri para pengurus.
            “Mengenai keluhan-keluhan setelah beberapa waktu saya dapat menilai siapa yang benar dan siapa yang salah. Saya akan selalu meminta penjelasan dan jika pengurus yang lebih atas bersalah maka saya akan memberitahunya demikian tanpa ragu-ragu.”
            Kepemimpinanya menggabungkan kebaikan hati dan ketegasan. Kebanyakan orang tergugah dengan kebaikan, tetapi ia menemukan bahwa ada sebagian orang yang harus diperingatkan.
            “Jadi ketegasan diperlukan. Jika kita meminta sesuatu dikerjakan mereka harus tahu bahwa kita ingin hal itu langsung dikerjakan dan bukan pada saat mereka ingin mengerjakannya.”
            Ia menambah metoda kepemimpinannya dengan kata-kata berikut, “Masalahnya adalah berusaha memindahkan kepribadian anda kepada orang-orang dengan  siapa anda bekerja. Tidak ada cara lain yang saya ketahui – hal itu tidak dapat diajarkan hanya dengan kata-kata. Anda harus memperlakukan orang-orang dengan cara bagaimana anda ingin ia memperlakukan orang-orang lain.”
            Tidak pernah ada keraguan, meskipun dulu nilainya buruk ketika lulus ujian, bahwa Tahir merupakan pekerja keras. Ia hanya menggunakan kecerdasannya untuk menangani hal-hal yang luas liputannya dan tidak perduli tentang lulus ujian. Sekarang ia menggunakan baik kecerdasannya maupun semangat berkaryanya untuk bekerja.
            Ia sudah berada di kantor pada pukul 8 pagi, satu setengah jam sebelum orang-orang lain dan ia pulang lama setelah setiap orang lain pulang, sering kali jam 10 malam. Bahkan pada hari-hari Jum`at, yang merupakan hari libur bagi setiap orang, ia berada dikantor sampai siang, lalu pergi ke mesjid Aqsa dimana Khalifah akan berkhutbah untuk sekitar 15.000 Jemaah, dan kemudian ia akan kembali ke kantor.
            “Saya tidak pernah merasa lelah. Saya merasa bekerja memberi semangat,”katanya.
            Ia juga membaca hampir semua surat yang datang ke kantor. Biasanya surat-surat itu terbagi atas berbagai kategori sehingga stafnya dapat membalas surat-surat itu hampir tanpa melibatkannya. Tetapi karena surat-surat tersebut dialamatkan kepadanya maka Tahir merasa senang jika dapat memeriksa tumpukan-tumpukan surat yang berbeda setiap harinya.
            “Saya tidak dapat membaca semuanya tapi saya dapat membaca sampelnya. Dengan cara ini saya tetap mengikuti apa yang sedang dibicarakan atau sedang berlangsung disetiap daerah dimana saya memiliki tanggung jawab. Kadang-kadang saya menemukan bahwa usaha yang dilakukan tidak cukup. Paling sering saya menemukan betapa orang-orang bekerja dengan sangat keras dan baik, betapa mereka bekerja berjam-jam yang sangat lama dengan pengabdian penuh.”
            Itulah system yang disempurnakannya ketika ia terpilih sebagai Khalifah.
            Jika ia tiba-tiba tidak ada kerja, Tahir merasa sangat kebingungan. “Saya selalu merasa lelah. Hal itu merupakan pengalaman tak enak, ada rasa kosong. Bagaimana kita dapat mengisinya. Saya sangat bosan.
            “Jadi tentu saja saya cari kegiatan lain. Saya pergi bersepeda. Saya bermain bulutangkis. Saya pergi naik kuda dan berenang. Saya pergi berjalan kaki jauh-jauh.”
            Ia bermain squash. Pelajaran pertamanya diperoleh dari juara dunia Hashim Khan dan di London ia telah bermain untuk universitasnya, sekolah tinggi ilmu-ilmu Dunia Timur dan Afrika.
            Ia mengadakan perjalanan pribadi ke Amerika Serikat dan tinggal di Washington, dengan M.M.Ahmad yang sekarang bekerja untuk Bank Dunia. M.M.Ahmad mengenang, “Kelebihannya yang saya ingat adalah rasa ingin tahunya serta haus akan pengetahuan, penelitiannya atas masyarakat dan persahabatan yang langsung dibangunnya dengan orang-orang Ahmadi yang bertebaran diseluruh Negeri, ia memperlihatkan energi dan satamina yang luar biasa, serta inisiatif tegas.
            “Ia bepergian dengan mobil yang disewa, berjalan dari pantai ke pantai dengan berhenti sesedikit mungkin – suatu tur singkat tapi mendapat hasil lebih banyak dari orang-orang yang tinggal lebih lama.”
            Salah satunya olahraga Tahir yang lain adalah berburu. Pembunuhan hewan diizinkan oleh Islam jika akan dimanfaatkan sebagai makanan. Berburu atau menembak sekedar untuk bersenang-senang tidak dibolehkan.
            “Saya tidak suka peternakan burung atau hewan agar orang-orang dapat datang dan menembak mereka. Menurut saya hal itu adalah pembantaian dan saya tidak pernah ambil bagian didalamnya. Hal itu berbeda jika hewan-hewan tersebut berada dialam bebas dan anda harus menggunakan keahlian untuk membunuh atau menangkapnya.”
            Memasak sudah selalu merupakan kegemaran yang sangat disukainya dan merpati dan burung-burung lain – serta kadang-kadang rusa kecil – hasil pemburuannya kemudian dimasak dalam acara memasak yang diselenggarakannya untuk para anggota organisasi pemuda yang telah datang ke Rabwah dari luar Negeri.
            Tamu-tamu lain datang kerumahnya. Dalam satu acara ia menjamu beberapa pejabat dari India yang tidak begitu baik mengenalnya. Anwar Ahmad, yang sudah sering mencoba keahlian memasak Tahir di London, juga hadir sebagai tamu. Setelah satu hidangan selesai tamu-tamu lain mulai memuji masakannya.
            “Ini benar-benar luar biasa, ”kata seorang. “Seandainya saya punya juru masak seperti ini. Dia sudah begitu repot-repot untuk kita. Anda harus menyampaikan terima kasih kami kepadanya.”
            “Apakah ia tidak ingin pindah ke India ?” salah seorang tamu bertanya bergurau.
            “Saya kira dia cukup bahagia disini,” jawab Tahir, “tetapi saya akan menyampaikan tawaran anda kepadanya.”
            Wajahnya biasa-biasa saja, tapi Anwar Ahmad menangkap suatu senyum tipis.
            Ia tahu bahwa juru masaknya adalah Tahir sendiri.
            Ia kemudian berkata bahwa yang paling penting baginya dalam memasak adalah perbandingan cabe dan garam Makanan sebaiknya tidak terlalu berlemak- makin kurang lemaknya makin baik  untuk saya. Dan sebaiknya tidak terlalu kering. Atau kalau kering sebaiknya dibuat kering sekali,misalnya tikka ayam yang sangat matang, jangan setengah matang .
            “Tetapi perbandingan cabe dan garam adalah yang terpenting juga kemampuan menghilangkan bau makanan-makanan tertentu dengan cara memasaknya. Kalalu saya memasak daging atau ikan saya suka mengurangi baunya karena saya tidak suka makanan tertentu berbau sekeras masakan orang-orang lain.
            Ada beberapa jenis makanan yang tidak disukainya. “Saya dulu sangat suka jeruk. Belakangan,mungkin karena saya sudah makan terlalu banyak makan jeruk, saya menjadi alergi jeruk dan sekarang tidak bisa memakannya sama sekali. Hal demikian juga terjadi pada makanan seperti kembang kol. Saya dulu sangat menyenangi occra, tapi sayangnya tidak cocok dengan saya.”
            Dan alcohol?
            “Adalah tidak betul jika saya sangat membenci alcohol sampai –sampai saya juga membenci baunya. Alkohol itu berbahaya dan Islam mengajarkan yang benar. Ketika dahulu saya mengadakan eksperimen di laboratorium saya, bau buah –buahan dari alcohol tidak pernah mengganggu saya dan, tentunya,warna- warnanya bagus –berbagai warna,bayang-bayang,dan corak.”
            Ia menikah pada tahun 1957 sekembalinya dari London. Istrinya adalah Begum Asifah. Ia sudah menulis surat dari London kepada ayahnya mengatakan bahwa ia memikirkan Asifah,yang sudah dikenalnya sejak masa kanak-kanak, dan ia akan senang jika ayahnya mau mendekati keluarga Asifah untuk mengetahui perasaan Asifah . Ternyata perasaan mereka sama.
            Setelah pernikahan itu mereka mendiami salah satu dari sebelas rumah yang telah dibangun Khalifah untuk putra-putranya. Rumah itu terdiri dari tiga kamar tidur,satu ruang duduk,satu dapur,dengan satu taman kecil. Tahir juga mempunyai tanah pertanian. Mungkin tanah pertanian adalah istilah yang berlebihan untuk 25 hektar tanah yang hampir tandus. Tapi disini Tahir dapat memelihara kuda-kuda—yang dilatihnya sendiri—serta sapi- sapi penghasil susu .
            Bersepeda sejauh tiga mil ketanah pertanian pada jam 6 pagi menjadi rutinitasnya setiap hari—serta kebahagiaannya setiap hari. “Saya suka keluar rumah pada saat orang- orang belum bangun dan bepergian. Suasana sangat sejuk dan segar dan saya mempunyai kesempatan untuk melihat hewan ternak saya, untuk memperhatikan mereka. Ini juga memberi kesempatan bagi saya untuk berpikir seorang diri. Sisa waktu saya sepanjang hari sudah begitu di atur ketat dan sibuk sehingga saat yang tenang pada pagi-pagi ini menjadi kebahagiaan besar bagi saya.”
            Perkawinannya memberinya kebahagiaan dan kebanggaan menjadi ayah. Putrinya yang pertama , Shaukat, lahir bulan Agustus 1960. Tiga putri lagi mengikuti – Faiza lahir bulan Oktober 1961, Mona lahir bulan September 1971,dan Tooba lahir bulan April 1974.
            Anak – anaknya memberinya kebahagiaan besar. “ Kami biasa main kejar- kejaran dan berlomba siapa yang dapat memanjat pohon tertentu. Kami bermain petak umpet. Saya benar – benar merasa seusia dengan mereka ketika saya bermain dengan mereka – hal itu merupakan kesenangan saya serta membuat saya rileks.”
            Ditanah pertanian ia membuat kolam renang kecil serta mengajar mereka berenang . Ia membeli sebuah trampolin. Ketika putri pertamanya sudah cukup besar, ia suka ikut bersepeda dengannya ketanah pertanian untuk mengambil susu.
            Ia senang menceritakan pada mereka kisah –kisah sebelum tidur, sering di ambil dari Alkitab. Dan dalam album keluarga ada sebuah foto, yang diambil seorang temannya yang menunggu , dimana Shaukat bertepuk girang ketika sebuah cerita mencapai klimaks, sementara Faiza duduk di pangkuannya dibungkus dengan selimut.
            Ketika mereka sakit sering kali Tahir yang merawat mereka sepanjang malam.   
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar