From: Iskandar Gumay
Nama cabang Balaigana mungkin terasa asing bagi sebagian besar warga Jemaat di Indonesia. Hal ini dikarenakan Balaigana memang baru saja resmi menjadi cabang pada bulan Maret 2010 yang lalu. Sungguh usia yang masih sangat muda.
Balaigana terletak diwilayah Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Tepatnya berada ditengah pemukiman suku Dayak berjarak 500 kilometer dari Ibukota Pontianak. Bagi mereka yang mengerti arti Balaigana pasti akan merasa penasaran. Bagaimana tidak, Balaigana berasal dari kata Balai yang artinya rumah dan Gana yang berarti hantu. Konon dahulunya Balaigana dikenal sebagai “kampung angker” tempat hantu bergentayangan.
Ditilik dari lokasinya, Balaigana memang terletak ditengah hutan belantara Kalimantan Barat yang terisolir, selain itu Balaigana juga “ditakuti” karena suku Dayak sebagai warga asli mengganggapnya sebagai salah satu tempat yang bertuah.
Jemaat Ahmadiyah masuk ke Balaigana tepatnya pada tahun 2004 melalui pertablighan yang dilakukan para Dai Ilallah dari Sintang dan Pontianak. Proses masuknya warga jemaat Balaigana ini bukanlah sebuah perkara yang mudah, melainkan melalui proses perdebatan dan diskusi yang panjang. Hanya dengan karunia Allah Taala semata, akhirnya terbentuklah jemaat kecil yang solid, semangat dan penuh kecintaan.
Namun sebagaimana jemaat didaerah lain yang mengalami penentangan, demikian pula halnya dengan Balaigana. Berbagai ujian dialami oleh anggota jemaat ini bahkan sebelum terbentuk menjadi sebuah cabang. Pada tahun 2004 lalu, pada saat masih menjadi kelompok binaan dari cabang Sintang, Masjid dan rumah misi di Balaigana pernah dihancurkan massa hingga rata dengan tanah, bahkan mubaligh yang bertugas ditempat ini dipukuli hingga babak belur.
Tidak hanya itu, berbagai tindakan intimidasi juga sering dirasakan oleh para anggota, yang intinya masyarakat ghair setempat tetap menginginkan agar anggota jemaat kembali kepada ajaran Islam yang umum mereka anut. Namun para anggota jemaat Balaigana tetap bersabar dalam menghadapi ujian tersebut dan menjalani keimanan terhadap Imam Mahdi as. dengan penuh istiqomah.
Setelah lima tahun berlalu, anggota Balaigana yang telah lama merindukan kembali tempat berkumpul untuk beribadah dan menjadi pusat kegiatan jemaat, bersepakat untuk membangun sebuah surau. Walaupun paham dengan segala konsekuensinya, para anggota membulatkan tekad dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.
Dengan berbekal semangat kecintaan, para anggota secara swadaya bahu membahu untuk mewujudkan keinginan tersebut. Dengan sedikit bantuan dari cabang-cabang lain diwilayah Kalbar, akhirnya surau sederhana itu berdiri. Bertembokan kayu, beratapkan seng dan beralaskan semen, ruangan berukuran 6 x 6 itu tampak seperti rumah biasa.
Bahkan tidak ada kubah layaknya sebuah surau, namun dibagian dalam ruangannya ditata sedemikian rupa menyerupai sebuah tempat ibadah. Dengan mimbar dibagian depan dan hamparan sajadah yang berjajar rapi. Sungguh sederhana namun sungguh istimewa karena merupakan buah kecintaan dan pengorbanan dari semuanya. Dengan adanya surau tersebut, para anggota semakin terpacu dalam keaktifan. Semua berlomba-lomba untuk memakmurkan surau yang diberi nama “Shiratul Imam” tersebut. Berbagai kegiatan dilakukan, mulai dari sholat berjamaah, pengajian, pembinaan mubayyin baru, pra madrasah dan sebagainya.
Hal ini kemudian memancing kembali rasa tidak suka sebagian masyarakat yang anti terhadap jemaat. Melihat berbagai kemajuan yang dicapai oleh jemaat Balaigana, mereka menjadi semakin gerah. Apalagi pada awal Juni 2010 cabang Balaigana mendapatkan karunia untuk dikunjungi oleh Bapak Amir Nasional. Ujian ketaqwaan bagi para anggotapun dimulai kembali.
Pada saat kunjungan tersebut tiga orang intel datang untuk melakukan koordinasi. Rupanya tidak jauh dari surau telah berkumpul sekitar 30 orang yang bersiap untuk melakukan huru hara, membubarkan acara pertemuan dan merusak surau. Keadaan sempat tegang. Namun berkat karunia Allah taala kondisi menjadi aman berkat keteguhan para anggota Jemaat yang memperlihatkan semangat dan jiwa pantang mundur yang luar biasa. Saat itu rombongan Bapak Amir dan Mubwil dijaga ketat oleh tim sepeda motor yang terdiri dari beberapa orang khudam dan anshor sebagai voorider yang mengawal Bapak Amir keluar dari Balaigana.
Sementara sebagian anggota lainnya berjaga-jaga disurau. Doa dan sholawat tidak terlepas dari bibir para anggota pada saat itu. Disisi lain para ghair yang sudah berkumpul menjadi ciut “nyalinya” setelah melihat keteguhan dan keberanian warga jemaat dalam melindungi orang nomor satu di Jemaat Ahmadiyah Indonesia ini. Akhirnya warga urung melakukan tindakan anarkis. Sungguh pemandangan yang sangat mengharukan.
Rupanya ujian keimanan tidak berhenti sampai disitu. Dua hari sejak kepulangan Bapak Amir ke Jakarta, berita mengenai upaya pembongkaran surau di Balaigana diwacanakan dibeberapa media cetak dan elektronik daerah Kalbar. “Jika pemerintah tidak mampu melakukannya, maka kami yang akan bertindak” demikian salah satu ungkapan provokatif yang dikutip dari warga dalam koran harian Tribune Pontianak, 7 juni 2010. Dalam pemaparannya mereka kembali mempersoalkan mengenai keberadaan Ahmadiyah didaerah Balaigana, juga pembangunan surau yang dianggap meresahkan. Segala dalih mereka sampaikan untuk membenarkan upaya mereka tersebut. Untuk itu mereka menginginkan bahwa surau Ahmadiyah tersebut dibongkar oleh Pemerintah, namun bila tidak maka mereka sendiri yang akan melakukannya.
Menyikapi informasi ini Aparat Kepolisian menunjukan keseriusannya dalam bertindak dan alhamdulillah mereka segera menurunkan pasukannya ke Balaigana untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dengan menjaga surau dan mendatangi semua provokator sekaligus “mewarningnya”. Rasa khawatir pihak Kepolisian akan terjadinya pertumpahan darah membuat Polisi bergerak dengan cepat untuk mengadakan dialog.
Dalam pertemuan tersebut disepakati akan adanya pertemuan khusus antara warga jemaat, warga setempat dan pihak-pihak terkait, yang pada intinya polisi menegaskan agar warga tidak main hakim sendiri dan akan menindak tegas siapa saja yang bertindak anarkis. Tidak hanya itu, dengan karunia Allah tanpa diduga Dewan Adat Dayak melalui kepala sukunya memberikan dukungan kepada Jemaat. Mereka menyatakan bahwa apabila terjadi tindak anarkis kepada anggota Jemaat maka mereka akan turun tangan dan akan menyelesaikan hal tersebut secara adat. Mengingat masih kentalnya adat dan budaya suku Dayak sebagai suku asli di Kalimantan Barat, maka dukungan tersebut cukup istimewa artinya dalam kehidupan sosial masyarakat didaerah ini.
Alhamdulillah hingga tulisan ini disusun keadaan di Balaigana kondusif. Terlebih ketika Mln. Ismail Firdaus yang baru 3 bulan bertugas dengan karunia Allah taala dapat mulai menembus masyarakat sekitar dengan pendekatan olahraga sepakbola. Beliau saat ini mendapat kepercayaan menjadi salah satu pengurus tim bahkan diminta untuk membantu melatih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar